ORANG BANJAR DAN BUDAYA SUNGAI
Kehidupan orang Banjar di Kalimantan Selatan lekat dengan budaya
sungai, sebagaimana tergambar pada permukiman tradisional Banjar yang
berada di pinggiran sungai dan aktivitas pasar terapung (floating
market).
Permukiman tradisional orang Banjar dapat ditemui di daerah yang
dilewati oleh sungai besar maupun kecil, seperti di sepanjang Sungai
Barito dengan anak cabangnya antara lain Sungai Nagara, Sungai
Paminggir, dan Sungai Martapura. Di sepanjang Sungai Nagara dengan anak
sungainya, antara lain Sungai Tabalong Kiri, Sungai Tabalong Kanan,
Sungai Balago, Sungai Batang Alai, Sungai Amandit, dan Sungai Tapin.
Anak cabang Sungai Barito bermuara ke Laut Jawa, sedangkan sungai
lainnya seperti Sungai Batu Licin, Sungai Tabanio, Sungai Asam-asam,
Sungai Kintap, dan Sungai Bangkalaan adalah sungai-sungai yang bermuara
ke Laut Jawa dan Selat Makassar.
Di antara sekian banyak sungai itu, maka daerah aliran sungai
terpenting dalam sejarah Banjar adalah Sungai Tabalong dan Sungai
Martapura. Konsentrasi permukiman penduduk
terdapat di sepanjang sungai itu mulai dari Tabalong, Kelua, Alabio,
Sungai Banar, Amuntai, Babirik, Nagara, Muara Rampiau, Muara Bahan
sampai dengan Banjarmasin (Saleh, 1986).
Permukiman dari segi bahasa diartikan sebagai daerah tempat
bermukim yang dapat didefinisikan sebagai satuan wilayah kehidupan
sosial budaya suatu masyarakat dan secara ekologis merupakan kawasan
interaksi untuk membudidayakan potensi lingkungan alam. Permukiman
masyarakat di sepanjang sungai biasanya dihuni oleh masyarakat setempat
(komunitas) atau suatu populasi yang menempati suatu daerah yang
bercirikan identitas tersendiri sebagai kelompok kekerabatan yang
dikenal dengan sebutan bubuhan. Oleh karena itu, komunitas perkampungan
di sepanjang sungai biasanya disebut berdasarkan nama tempat kediaman
mereka yang umumnya di tepian sungai, seperti orang Nagara, orang
Barito, orang Alabio, orang Amuntai, atau bubuhan Sungai Jingah,
bubuhan Sungai Mesa, bubuhan Alalak, dan sebagainya.
Berbagai permukiman penduduk di sepanjang Sungai Tabalong dan Sungai
Martapura itu kemudian juga berfungsi sebagai pelabuhan sungai yang
kemudian juga menjadi pusat-pusat kerajaan seperti Tanjung Puri, Negara
Dipa, Negara Daha, dan Bandarmasih (Banjarmasin). Sebagaimana
dikatakan Sartono Kartodirjo et al (1975) pusat kota
pemerintahan kerajaan, bandar dan pasar adalah tiga fungsi daerah tempat
pembentukan kerajaan di tepian sungai dan pesisir pantai.
Begitu banyaknya sungai yang mengaliri kawasan geografis Kalimantan
Selatan, sehingga menjadikan sungai menjadi berperan terhadap kehidupan
masyarakat Banjar khususnya dan Kalimantan Selatan umumnya. Karena
sungai berperan menjadi wahana lintas transportasi dan perhubungan
antara daerah pedalaman dengan daerah tepian sungai dan pesisir pantai.
Melalui sungai pula terbentuk interaksi-interaksi antara manusia yang
aneka ragam suku, agama, budaya dan latar ekonomi. Interaksi antara
manusia demikian, pada gilirannya membentuk hubungan-hubungan yang
bersifat ekonomi, sosial-budaya, dan politik.
Dari sungailah interaksi manusia terbangun yang menghasilkan budaya
sungai atau kebudayaan masyarakat yang dipengaruhi oleh lingkungan
sungai. Pengertian budaya sungai meliputi cara hidup, berperilaku, dan
adaptasi manusia yang hidup ditepi sungai, hal itu telah menjadi tradisi
yang dilakukan secara turun temurun (Hartatik, 2004).
Salah satu bentuk budaya sungai adalah pasar terapung (floating
market) yang masih eksis hingga sekarang ini di kampung Kuin,
Banjarmasin dan terutama sekali di Lok Baintan, kabupaten Banjar. Keberadaan pasar terapung tidak terlepas dari kebudayaan sungai suku Banjar.
Karena sungai bagi masyarakat Banjar, khususnya yang tinggal di tepian
sepanjang sungai, tidak hanya sebagai tempat arus transportasi atau
mobilisasi manusia, namun tempat pemasaran komoditas perdagangan dan
pemenuhan kebutuhan rumah tangga, seperti air minum, mandi, dan
lain-lain.
Keberadaan pasar terapung di Kuin dapat ditelusuri sejak munculnya
keraton kesultanan Banjar yang berada di pinggiran sungai Kuin. Keraton
dahulu selalu tidak berjauhan dengan bandar, alun-alun, dan masjid.
Bandar pada masa Kesultanan Banjar dahulu adalah di muara sungai Kuin.
Di sinilah terjadi interaksi antara pedagang dan pembeli dalam bentuk
jual-beli di atas perahu, atau antara penduduk yang tinggal di
pinggiran sungai dengan pedagang berperahu. Dapat dikatakan, bahwa
keberadaan pasar terapung hanya dapat ditelaah dari aspek kebudayaan
sungai, yang menghasilkan perilaku manusia dalam mengatasi kebutuhan
ekonomi, dan disandarkan pada dominasi transportasi perahu di sungai,
sehingga membentuk pusat interaksi pembeli dan penjual, yang dikenal
sebagai pasar terapung.
Adanya dominasi transportasi melalui sungai merupakan faktor penentu
keberlangsungan pasar terapung, baik di Kuin maupun Lok Baintan sekarang
ini. Jika dahulu masyarakat kota Banjarmasin lekat dengan transportasi
sungai, sehingga memunculkan budaya pasar terapung atau banyaknya warga
yang menjajakan dagangannya dengan perahu. Akan tetapi, ketika orientasi
kegiatan ekonomi perdagangan berpindah dari sungai ke daerah daratan,
seiring dengan semakin membaiknya lintas tranportasi jalan di sekitar
pasar terapung tersebut, maka kini aktivitas pasar terapung di Muara
Kuin mulai meredup; tidak seramai dahulu lagi.
Menurut M. Idwar Saleh (1986) terbentuknya konsentrasi penduduk
dengan pola permukiman berbanjar di sepanjang pinggiran sungai, faktor
utamanya adalah sungai. Sungai bagi penduduk yang bermukim di tepian
sungai mampu memenuhi kebutuhan dan mempertahankan hidup mereka, baik
dari aspek transportasi dan mobilitas, ekonomi, sosial, budaya, dan
politik. Dari konsentrasi penduduk dan interaksinya dengan sungai, maka
lahirlah kebudayaan sungai. Kehidupan masyarakat Banjar berkembang di
atas sungai yang menjadikan ciri khas dan budaya orang Banjar.
Terkait dengan transportasi sungai, sejak dahulu kala orang Banjar
memiliki dan menguasai teknologi pembuatan perahu dalam berbagai bentuk
dan jenis keperluan baik untuk sungai, pantai dan lautan. Kemampuan itu
dengan sendirinya menjadikan orang Banjar memiliki tradisi berlayar baik
sebagai pelaut, nelayan, dan pedagang antar pulau (interensuler).
Kemampuan memiliki, menguasai teknologi pembuatan perahu dan adanya
tradisi berlayar dan berdagang antar pulau dengan perahu tradisional
itulah yang menjadikan orang Banjar memiliki mobilitas tinggi, berlayar
dari satu pulau ke pulau lain, berangkat menuju tanah suci, menyusuri
sungai hingga jauh ke pedalaman, atau bermigrasi untuk mencari tempat
permukiman baru.
Penguasaan teknologi pembuatan perahu tercermin antara lain tercermin dari beragamnya alat transportasi sungai yakni jukung atau
perahu/sampan dalam berbagai jenis maupun fungsinya. Jukung Banjar
dalam bentuk dan proses cara pembikinannya dikenal adanya tiga jenis,
yaitu Jukung Sudur, Jukung Patai dan Jukung Batambit.
Sedangkan jukung menurut fungsinya dapat dilihat sebagai sarana
transportasi, untuk berjualan atau berdagang, mencari ikan, menambang
pasir dan batu, mengangkut hasil pertanian, angkutan jasa dan lain-lain,
bahkan sekaligus sebagai tempat tinggal pemiliknya. Pelbagai fungsi
jukung itu dapat disebutkan sebagai berikut, yakni (a) Jukung Pahumaan,
(b) Jukung Paiwakan, (c) Jukung Paramuan, (d) Jukung Palambakan, (e)
Jukung Pambarasan, (f) Jukung Gumbili, (g) Jukung Pamasiran, (h) Jukung
Beca Banyu, (i) Jukung Getek, (j) Jukung Palanjaan, (k) Jukung Rombong,
(l) Jukung/Perahu Tambangan, (m) Jukung Undaan, (n) Jukung Tiung. Selain
jukung masyarakat Banjar biasanya menggunakan “klotok”, yakni
jukung yang cukup besar dan dilengkapi dengan mesin motor sebagai alat
penggeraknya, serta bus air, dan speed boat untuk mengakut penumpang dan
barang kebutuhan pokok.
Dalam hal permukiman, bentuk perkampungan di lingkungan sungai selalu
berpola linear mengikuti alur sungai tersebut dan rumah-rumah selalu
menghadap ke sungai. Di sepanjang sungai Barito daerah Marabahan masih
ditemui rumah-rumah tua atau bekas-bekas tiang rangka bangunan rumah
yang berbanjar menghadap sungai, karena sejak dahulu kala sungai sudah
menjadi urat nadi kehidupan. Bahkan sampai sekarang di sepanjang sungai,
khususnya Sungai Barito, Sungai Negara, Sungai Amandit, Sungai
Martapura masih ditemui rumah-rumah penduduk yang dibangun diatas
permukaan air yang dikenal dengan sebutan “lanting”.
Bentuk rumah pada umumnya rumah panggung dengan tiang, lantai,
dinding dan atap terbuat dari kayu ulin. Rumah-rumah itu terdiri dari
berbagai tipe atau bentuk yang dibedakan berdasarkan bentuk atapnya
seperti bubungan tinggi, balai laki, palimbangan, dan sebagainya. Pada
permukiman di tepian sungai, antara rumah satu dengan yang lain
dihubungkan dengan titian, dan setiap rumah (keluarga batih) memiliki
batang, yaitu sejenis rakit yang ditempatkan di sungai depan rumah yang
berfungsi sebagai tempat mandi, cuci, dan jamban (MCK), serta sekaligus
tempat menambatkan jukung. Setiap kampung biasanya memiliki surau atau
langgar, pada kampung yang lebih besar terdapat masjid jami untuk sholat
Jumat. Selain itu, setiap perkampungan juga mempunai pasar yang
terletak pada persimpangan atau bertemunya dua sungai (Sunarningsih
dalam Gunadi et al., 2004).
Jaringan transportasi air merupakan bagian utama yang menjadi urat
nadi dan pendorong tumbuh dan berkembangnya Kota Banjarmasin. Kota yang
diperkirakan mulai berdiri pada perempat kedua abad ke-16 ini awalnya
dibangun di daerah muara tepian sungai Kuin dan Alalak dengan ditandai
berdirinya “keraton” Kesultanan Banjarmasin. Selain sebagai pusat
kesultanan, kota Banjarmasin —tepatnya di delta atau Pulau Tatas—juga
pernah menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Kemudian sejak tahun
1956 hingga kini Banjarmasin menyandang predikat ibukota provinsi
Kalimantan Selatan (Subiyakto, 2004).
Secara geografis Banjarmasin terletak di daerah aliran Sungai Barito dan Sungai Martapura yang memiliki banyak kanal (anjir/antasan, handil/Tatah dan saka).
Kanal-kanal itu berfungsi ganda, selain untuk kepentingan pertanian
sekaligus sebagai prasarana transportasi, juga sebagai penampung dan
penyalur air pada saat pasang, sehingga dapat mengurangi luapan air
serta menghindari banjir. Bahkan kanal juga berfungsi sebagai
perlindungan untuk kepentingan pertahanan yang dibangun mengelilingi
benteng sebagaimana terdapat pada Benteng Tatas.
Secara rinci dapat dijabarkan, bahwa masyarakat Banjar mengenal tiga
macam kanal. Pertama, Anjir (ada juga yang menyebutnya Antasan) yakni
semacam saluran primer yang menghubungkan antara dua sungai. Anjir
berfungsi untuk kepentingan umum dengan titik berat sebagai sistem
irigasi pertanian dan sarana transportasi. Kedua, Handil (ada juga yang
menyebut Tatah) yakni semacam saluran yang muaranya di sungai atau di
Anjir. Handil dibuat untuk menyalurkan air ke lahan pertanian daerah
daratan. Handil ukurannya lebih kecil dari Anjir dan merupakan milik
kelompok atau bubuhan tertentu. Ketiga, Saka merupakan saluran tersier
untuk menyalurkan air yang biasanya diambil dari Handil. Saluran ini
berukuran lebih kecil dari Handil dan merupakan milik keluarga atau
pribadi. Menurut Schophuys, kanal berupa Anjir, Handil dan Saka
betul-betul karya asli masyarakat Banjar yang disebutnya sebagai sistem
irigasi orang Banjar. Anjir, Handil dan Saka mempunyai fungsi utama
sebagai irigasi pertanian dalam arti luas dan prasarana transportasi ke
berbagai daerah, di samping untuk kebutuhan air minum, cuci dan mandi.
Kemampuan dan kebiasaan orang Banjar menjawab pengaruh sungai pasang
surut dengan membuat kanal merupakan keistimewaan sekaligus membuktikan
tingkat peradaban yang dimiliki. Mereka mampu membangun kanal yang
panjangnya mencapai puluhan kilometer hanya dengan kekuatan tangan.
Kanal-kanal itu dibangun menggunakan alat sangat sederhana yang disebut
Sundak, cara penggunaannya benar-benar bertumpu pada kekuatan tangan.
Alat ini terbuat dari kayu ulin tipis atau lempengan baja berukuran
lebar 20 cm dan panjang 35 cm.
Masyarakat Banjar banyak membangun Anjir di Kota Banjarmasin yang
disebut sebagai Antasan seperti Antasan Besar, Antasan Kecil, Antasan
Raden dan Antasan Bondan. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda,
digagas J.J. Meijer (1880), membangun Anjir Serapat yang sepenuhnya
menggunakan cara dan tenaga kerja orang Banjar. Gagasan itu kemudian
dilaksanakan oleh W. Broers pengganti Meijer, untuk memulai membangun
Anjir Serapat. Anjir ini menghubungkan daerah Banjarmasin dan Kapuas
dengan ukuran lebar 30 m, panjang 28 km dan kedalaman 3 m berhasil
diselesaikan tahun 1890.
Pada tahun 1935 Morggenstorm penguasa saat itu melakukan perbaikan
dan pembersihan Anjir Serapat karena mengalami pendangkalan dan kotor.
Nampaknya ini suatu bentuk perhatian dan pemeliharaan atas infrastruktur
transfortasi air. Bahkan pada tahun 1938, Morggenstorm menganggap perlu
untuk menambah lagi sebuah Anjir, yang kemudian disebut Anjir Tamban,
dibangun sepanjang 32 km menghubungkan sungai Barito dan Kapuas Murung
di daerah bagian barat Kota Banjarmasin.
Pada masa kemerdekaan, Ir. Pangeran Muhammad Noor selaku menteri
Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja di era Presiden Soekarno menggagas
Proyek Kanalisasi Nasional yang akan menghubungkan wilayah Kalimantan
Selatan sampai Kalimantan Barat. Namun, sayang program ini kemudian
dihentikan.
Meskipun gagal membangun kanal besar, bukan berarti pembangunan kanal
berhenti, bahkan justru terus berlangsung. Dua buah Anjir dibangun lagi
pada tahun 1950 secara bersamaan, masa gubernur Murjani yaitu Anjir
Basarang dan Anjir Kalampan. Kemudian tahun 1961dibangun Anjir Balandean
dan tahun 1965 menyusul Anjir Berangas yang keduanya terletak di daerah
bagian utara Kota Banjarmasin.
Dari pembangunan Anjir atau Antasan ini, mendorong masyarakat Banjar
membangun banyak Handil atau Tatah. Menurut Amir Hasan Kiai Bondan bahwa
antara tahun 1924 dan 1927 masyarakat Banjar masih terus membangun
Handil. Jumlahnya mencapai ratusan buah dengan panjang setiap Handil
mencapai puluhan kilometer. Pada tahun 1940 dan 1950-an kembali dibangun
ratusan Handil baru. Handil-handil yang dibangun waktu itu terutama di
daerah Kelayan dan Pemurus. Sebut saja beberapa sebagai contoh seperti
Tatah Layap, Tatah Pamangkih, Tatah Bangkal, Tatah Belayung, Tatah
Pelatar, Handil Jatuh, Handil Bintangur, Handil Malintang, Handil Parit,
Handil Babirik, Handil Kabuwau dan lain-lain.
Demikian juga dengan Saka, yang banyak dibangun oleh petani-petani
Banjar dengan lebar antara dua hingga empat meter serta kedalaman tidak
lebih dari 2.5 meter. Sedangkan panjangnya bervariasi dari satu
kilometer sampai dengan 10 kilometer yang muaranya bisa ke handil, anjir
bahkan sungai. Saka yang tidak terhitung banyaknya ini di Kota
Banjarmasin saat ini hampir sudah tidak dikenali lagi. Hanya ada satu
yang sampai kini masih diketahui, itupun tidak berupa Saka lagi, sudah
menjadi nama perkampungan atau jalan tembus yakni Saka Permai.
Mengingat betapa banyaknya sungai dan kanal dengan anak-anak
cabangnya di kota Banjarmasin yang tidak terhitung jumlahnya, maka
secara puitis dan untuk lebih mudahnya disebutlah kota Banjarmasin
sebagai kota “Seribu Sungai”.
0 komentar:
Kalau mau koment yang sopan!!