Selasa, 15 April 2014

0

ORANG BANJAR DAN BUDAYA SUNGAI

Kehidupan orang Banjar di Kalimantan Selatan lekat dengan budaya sungai, sebagaimana tergambar pada permukiman tradisional Banjar yang berada di pinggiran sungai dan aktivitas pasar terapung (floating market).
 Permukiman tradisional orang Banjar dapat ditemui di daerah yang dilewati oleh sungai besar maupun kecil, seperti di sepanjang Sungai Barito dengan anak cabangnya antara lain  Sungai Nagara, Sungai Paminggir, dan Sungai Martapura. Di sepanjang Sungai Nagara dengan anak sungainya, antara lain Sungai Tabalong Kiri, Sungai Tabalong Kanan, Sungai Balago, Sungai Batang Alai, Sungai Amandit, dan Sungai Tapin. Anak cabang Sungai Barito bermuara ke Laut Jawa, sedangkan sungai lainnya seperti Sungai Batu Licin, Sungai Tabanio, Sungai Asam-asam, Sungai Kintap, dan Sungai Bangkalaan adalah sungai-sungai yang bermuara ke Laut Jawa dan Selat Makassar.
Di antara sekian banyak sungai itu, maka daerah aliran sungai terpenting dalam sejarah Banjar adalah Sungai Tabalong dan Sungai Martapura. Konsentrasi permukiman penduduk terdapat di sepanjang sungai itu mulai dari Tabalong, Kelua, Alabio, Sungai Banar, Amuntai, Babirik, Nagara, Muara Rampiau, Muara Bahan sampai dengan Banjarmasin (Saleh, 1986).
Permukiman  dari segi bahasa diartikan sebagai   daerah tempat bermukim yang dapat didefinisikan sebagai satuan wilayah kehidupan sosial budaya suatu masyarakat dan secara ekologis merupakan kawasan interaksi untuk membudidayakan potensi lingkungan alam. Permukiman masyarakat di sepanjang sungai biasanya dihuni oleh masyarakat setempat (komunitas) atau suatu populasi yang menempati suatu daerah yang bercirikan identitas tersendiri sebagai kelompok kekerabatan yang dikenal dengan sebutan bubuhan. Oleh karena itu, komunitas perkampungan di sepanjang sungai biasanya disebut berdasarkan nama tempat kediaman mereka yang umumnya di tepian sungai, seperti orang Nagara, orang Barito, orang Alabio, orang Amuntai, atau bubuhan Sungai Jingah,  bubuhan Sungai Mesa, bubuhan Alalak,  dan sebagainya.
Berbagai permukiman penduduk di sepanjang Sungai Tabalong dan Sungai Martapura itu kemudian juga berfungsi sebagai pelabuhan sungai yang kemudian juga menjadi pusat-pusat kerajaan seperti Tanjung Puri, Negara Dipa,  Negara Daha, dan Bandarmasih (Banjarmasin). Sebagaimana dikatakan  Sartono Kartodirjo et al (1975) pusat kota pemerintahan kerajaan, bandar dan pasar adalah tiga fungsi daerah tempat pembentukan kerajaan di tepian sungai dan pesisir pantai.
Begitu banyaknya sungai yang mengaliri kawasan geografis Kalimantan Selatan, sehingga menjadikan sungai menjadi berperan terhadap kehidupan masyarakat Banjar khususnya dan Kalimantan Selatan umumnya. Karena sungai berperan menjadi wahana lintas transportasi dan perhubungan antara daerah pedalaman dengan daerah tepian sungai dan pesisir pantai.  Melalui sungai pula terbentuk interaksi-interaksi antara manusia yang aneka ragam suku, agama, budaya dan latar ekonomi.  Interaksi antara manusia demikian, pada gilirannya membentuk hubungan-hubungan yang bersifat ekonomi, sosial-budaya, dan politik.
Dari sungailah interaksi manusia terbangun yang menghasilkan budaya sungai atau kebudayaan masyarakat yang dipengaruhi oleh lingkungan sungai. Pengertian budaya sungai  meliputi cara hidup, berperilaku, dan adaptasi manusia yang hidup ditepi sungai, hal itu telah menjadi tradisi yang dilakukan secara turun temurun (Hartatik, 2004).
Salah satu bentuk budaya sungai adalah pasar terapung (floating market) yang masih eksis hingga sekarang ini di kampung Kuin, Banjarmasin dan terutama sekali di Lok Baintan, kabupaten Banjar. Keberadaan pasar terapung tidak terlepas dari kebudayaan sungai suku Banjar. Karena sungai bagi masyarakat Banjar, khususnya yang tinggal di tepian sepanjang sungai, tidak hanya sebagai tempat arus transportasi atau mobilisasi manusia, namun tempat pemasaran komoditas perdagangan dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga, seperti air minum, mandi, dan lain-lain.
Keberadaan pasar terapung di Kuin dapat ditelusuri sejak munculnya keraton kesultanan Banjar yang berada di pinggiran sungai Kuin. Keraton dahulu selalu tidak berjauhan dengan bandar, alun-alun, dan masjid. Bandar pada masa Kesultanan Banjar dahulu adalah di muara sungai Kuin. Di sinilah terjadi interaksi antara pedagang dan pembeli dalam bentuk  jual-beli di atas perahu, atau antara penduduk yang tinggal di pinggiran sungai dengan pedagang berperahu. Dapat dikatakan, bahwa keberadaan pasar terapung hanya dapat  ditelaah dari aspek kebudayaan sungai, yang menghasilkan perilaku manusia dalam mengatasi kebutuhan ekonomi, dan disandarkan pada dominasi transportasi perahu di sungai, sehingga membentuk pusat interaksi pembeli dan penjual, yang dikenal sebagai pasar terapung.
Adanya dominasi transportasi melalui sungai merupakan faktor penentu keberlangsungan pasar terapung, baik di Kuin maupun Lok Baintan sekarang ini. Jika dahulu masyarakat kota Banjarmasin lekat dengan transportasi sungai, sehingga memunculkan budaya pasar terapung atau banyaknya warga yang menjajakan dagangannya dengan perahu. Akan tetapi, ketika orientasi kegiatan ekonomi  perdagangan berpindah dari sungai  ke daerah daratan, seiring dengan semakin membaiknya lintas tranportasi jalan di sekitar pasar terapung tersebut, maka kini aktivitas pasar terapung di Muara Kuin mulai meredup; tidak seramai dahulu lagi.
Menurut M. Idwar Saleh (1986) terbentuknya konsentrasi penduduk dengan pola permukiman berbanjar di sepanjang pinggiran sungai, faktor utamanya adalah sungai. Sungai bagi penduduk yang bermukim di tepian sungai mampu memenuhi kebutuhan dan mempertahankan hidup mereka, baik dari aspek transportasi dan mobilitas, ekonomi, sosial, budaya, dan politik.  Dari konsentrasi penduduk dan interaksinya dengan sungai, maka lahirlah kebudayaan sungai. Kehidupan masyarakat Banjar  berkembang di atas sungai yang menjadikan ciri khas dan budaya orang Banjar.
Terkait dengan transportasi sungai, sejak dahulu kala orang Banjar memiliki dan menguasai teknologi pembuatan perahu dalam berbagai bentuk dan jenis keperluan baik untuk sungai, pantai dan lautan. Kemampuan itu dengan sendirinya menjadikan orang Banjar memiliki tradisi berlayar baik sebagai pelaut, nelayan, dan pedagang antar pulau (interensuler).
  Kemampuan memiliki, menguasai teknologi pembuatan perahu dan adanya tradisi berlayar dan berdagang antar pulau dengan perahu tradisional itulah yang menjadikan orang Banjar memiliki mobilitas tinggi,  berlayar dari satu pulau ke pulau lain, berangkat menuju tanah suci,  menyusuri sungai hingga jauh ke pedalaman, atau bermigrasi  untuk mencari tempat permukiman baru.
 Penguasaan teknologi pembuatan perahu tercermin antara lain tercermin dari beragamnya  alat transportasi  sungai yakni jukung atau perahu/sampan dalam berbagai jenis maupun fungsinya.  Jukung Banjar dalam bentuk dan proses cara pembikinannya dikenal adanya tiga jenis, yaitu Jukung Sudur, Jukung Patai dan Jukung Batambit.
Sedangkan jukung menurut fungsinya dapat dilihat sebagai sarana transportasi, untuk berjualan atau berdagang, mencari ikan, menambang pasir dan batu, mengangkut hasil pertanian, angkutan jasa dan lain-lain, bahkan sekaligus sebagai tempat tinggal pemiliknya. Pelbagai fungsi jukung itu dapat disebutkan sebagai berikut, yakni (a) Jukung Pahumaan, (b) Jukung Paiwakan, (c) Jukung Paramuan, (d) Jukung Palambakan, (e) Jukung Pambarasan, (f) Jukung Gumbili, (g) Jukung Pamasiran, (h) Jukung Beca Banyu, (i) Jukung Getek, (j) Jukung Palanjaan, (k) Jukung Rombong, (l) Jukung/Perahu Tambangan, (m) Jukung Undaan, (n) Jukung Tiung. Selain jukung masyarakat Banjar biasanya menggunakan “klotok”, yakni jukung yang cukup besar dan dilengkapi dengan mesin motor sebagai alat penggeraknya, serta bus air, dan speed boat untuk mengakut penumpang dan barang kebutuhan pokok.
Dalam hal permukiman, bentuk perkampungan di lingkungan sungai selalu berpola linear mengikuti alur sungai tersebut dan rumah-rumah selalu menghadap ke sungai. Di sepanjang sungai Barito daerah Marabahan masih ditemui rumah-rumah tua atau bekas-bekas tiang rangka bangunan rumah yang berbanjar menghadap sungai, karena sejak dahulu kala sungai sudah menjadi urat nadi kehidupan. Bahkan sampai sekarang di sepanjang sungai, khususnya Sungai Barito, Sungai Negara, Sungai Amandit, Sungai Martapura masih ditemui rumah-rumah penduduk yang dibangun diatas permukaan air yang dikenal dengan sebutan “lanting”.
Bentuk rumah pada umumnya rumah panggung dengan tiang, lantai, dinding dan atap terbuat dari kayu ulin. Rumah-rumah itu terdiri dari berbagai tipe atau bentuk yang dibedakan berdasarkan bentuk atapnya seperti bubungan tinggi, balai laki, palimbangan, dan sebagainya.  Pada permukiman di tepian sungai, antara rumah satu dengan yang lain dihubungkan dengan titian, dan setiap rumah (keluarga batih) memiliki batang, yaitu sejenis rakit yang ditempatkan di sungai depan rumah yang berfungsi sebagai tempat mandi, cuci, dan jamban (MCK), serta sekaligus tempat menambatkan jukung. Setiap kampung  biasanya memiliki surau atau langgar, pada kampung yang lebih besar terdapat masjid jami untuk sholat Jumat. Selain itu, setiap perkampungan juga mempunai pasar yang terletak pada persimpangan atau bertemunya dua sungai (Sunarningsih dalam Gunadi et al., 2004).
Jaringan transportasi air merupakan bagian utama yang menjadi urat nadi dan pendorong tumbuh dan berkembangnya Kota Banjarmasin. Kota yang diperkirakan mulai berdiri pada perempat kedua abad ke-16 ini awalnya dibangun di daerah muara tepian sungai Kuin dan Alalak dengan ditandai berdirinya “keraton” Kesultanan Banjarmasin. Selain sebagai pusat kesultanan, kota Banjarmasin —tepatnya di delta atau Pulau Tatas—juga pernah menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Kemudian sejak tahun 1956 hingga kini Banjarmasin menyandang predikat ibukota provinsi Kalimantan Selatan (Subiyakto, 2004).
Secara geografis Banjarmasin terletak di daerah aliran Sungai Barito dan Sungai Martapura yang memiliki banyak kanal (anjir/antasan, handil/Tatah dan saka). Kanal-kanal itu berfungsi ganda, selain untuk kepentingan pertanian sekaligus sebagai prasarana transportasi,  juga sebagai penampung dan penyalur air  pada saat pasang, sehingga dapat mengurangi luapan air serta menghindari banjir. Bahkan kanal juga berfungsi  sebagai perlindungan untuk kepentingan pertahanan yang dibangun mengelilingi benteng sebagaimana terdapat pada Benteng Tatas.
Secara rinci dapat dijabarkan, bahwa masyarakat Banjar mengenal tiga macam kanal. Pertama, Anjir (ada juga yang menyebutnya Antasan) yakni semacam saluran primer yang menghubungkan antara dua sungai. Anjir berfungsi untuk kepentingan umum dengan titik berat sebagai sistem irigasi pertanian dan sarana transportasi. Kedua, Handil (ada juga yang menyebut Tatah) yakni semacam saluran yang muaranya di sungai atau di Anjir. Handil dibuat untuk menyalurkan air ke lahan pertanian daerah daratan. Handil ukurannya lebih kecil dari Anjir dan merupakan milik kelompok atau bubuhan tertentu. Ketiga, Saka merupakan saluran tersier untuk menyalurkan air yang biasanya diambil dari Handil. Saluran ini berukuran lebih kecil dari Handil dan merupakan milik keluarga atau pribadi. Menurut Schophuys, kanal berupa  Anjir, Handil dan Saka betul-betul karya asli masyarakat Banjar yang disebutnya sebagai sistem irigasi orang Banjar. Anjir, Handil dan Saka mempunyai fungsi utama sebagai irigasi pertanian dalam arti luas dan prasarana transportasi ke berbagai daerah, di samping untuk kebutuhan air minum, cuci dan mandi.
Kemampuan dan kebiasaan orang Banjar menjawab pengaruh sungai pasang surut dengan membuat kanal merupakan keistimewaan sekaligus membuktikan tingkat peradaban yang dimiliki. Mereka mampu membangun kanal yang panjangnya mencapai puluhan kilometer hanya dengan kekuatan tangan. Kanal-kanal itu dibangun menggunakan alat sangat sederhana yang disebut Sundak, cara penggunaannya benar-benar bertumpu pada kekuatan tangan. Alat ini terbuat dari kayu ulin tipis atau lempengan baja berukuran lebar 20 cm dan panjang 35 cm.
Masyarakat Banjar banyak membangun Anjir di Kota Banjarmasin yang disebut sebagai Antasan seperti Antasan Besar, Antasan Kecil, Antasan Raden dan Antasan Bondan. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, digagas J.J. Meijer (1880), membangun Anjir Serapat yang sepenuhnya menggunakan cara dan tenaga kerja orang Banjar.  Gagasan itu kemudian dilaksanakan oleh W. Broers pengganti Meijer, untuk memulai membangun Anjir Serapat. Anjir ini menghubungkan daerah Banjarmasin dan Kapuas dengan ukuran lebar 30 m, panjang 28 km dan kedalaman 3 m berhasil diselesaikan tahun 1890.
Pada tahun 1935 Morggenstorm penguasa saat itu melakukan perbaikan dan pembersihan Anjir Serapat karena mengalami pendangkalan dan kotor. Nampaknya ini suatu bentuk perhatian dan pemeliharaan atas infrastruktur transfortasi air. Bahkan pada tahun 1938, Morggenstorm menganggap perlu untuk menambah lagi sebuah Anjir, yang kemudian disebut Anjir Tamban, dibangun sepanjang 32 km menghubungkan sungai Barito dan Kapuas Murung di daerah bagian barat Kota Banjarmasin.
Pada masa kemerdekaan, Ir.  Pangeran Muhammad Noor selaku menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja di era Presiden Soekarno menggagas Proyek Kanalisasi Nasional yang akan menghubungkan wilayah Kalimantan Selatan sampai Kalimantan Barat. Namun, sayang program ini kemudian dihentikan.
Meskipun gagal membangun kanal besar, bukan berarti pembangunan kanal berhenti, bahkan justru terus berlangsung. Dua buah Anjir dibangun lagi pada tahun 1950 secara bersamaan, masa gubernur Murjani yaitu Anjir Basarang dan Anjir Kalampan. Kemudian tahun 1961dibangun Anjir Balandean dan tahun 1965 menyusul Anjir Berangas yang keduanya terletak di daerah bagian utara Kota Banjarmasin.
Dari pembangunan Anjir atau Antasan ini, mendorong masyarakat Banjar membangun banyak Handil atau Tatah. Menurut Amir Hasan Kiai Bondan bahwa antara tahun 1924 dan 1927 masyarakat Banjar masih terus membangun Handil. Jumlahnya mencapai ratusan buah dengan panjang setiap Handil mencapai puluhan kilometer. Pada tahun 1940 dan 1950-an kembali dibangun ratusan Handil baru. Handil-handil yang dibangun waktu itu terutama di daerah Kelayan dan Pemurus. Sebut saja beberapa sebagai contoh seperti Tatah Layap, Tatah Pamangkih, Tatah Bangkal, Tatah Belayung, Tatah Pelatar, Handil Jatuh, Handil Bintangur, Handil Malintang, Handil Parit, Handil Babirik, Handil Kabuwau dan lain-lain.
Demikian juga dengan Saka, yang banyak dibangun oleh petani-petani Banjar dengan lebar antara dua hingga empat meter serta kedalaman tidak lebih dari 2.5 meter. Sedangkan panjangnya bervariasi dari satu kilometer sampai dengan 10 kilometer yang muaranya bisa ke handil, anjir bahkan sungai. Saka yang tidak terhitung banyaknya ini di Kota Banjarmasin saat ini hampir sudah tidak dikenali lagi. Hanya ada satu yang sampai kini masih diketahui, itupun tidak berupa Saka lagi, sudah menjadi nama perkampungan atau jalan tembus yakni Saka Permai.
Mengingat betapa banyaknya sungai dan kanal dengan anak-anak cabangnya di kota Banjarmasin yang tidak terhitung jumlahnya, maka secara puitis dan untuk lebih mudahnya disebutlah kota Banjarmasin sebagai kota “Seribu Sungai”.

0 komentar:

Kalau mau koment yang sopan!!